Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang lain tidak, maka diselesaikan dengan jalan memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat yang tidak shahih. Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia (Jundub) berkata: “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan. Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu.
Maka ia (Nabi) berkata: “Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri: Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”. Maka Allah menurunkan والضحى hingga firman-Nya فترضى. Download stanislaw lem fiasco pdf. Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan yang lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang mempunyai penguat.
Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi) bertongkat pelepah korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkat kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik.
Kemudian ia berkata. Sementara itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu, maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung kepada Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu (istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah sehingga Uwaimir melakukan li’an terhadap istrinya.
Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ayat yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran.
Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif.